Siang itu, Wahsyi begitu bersemangat dan ceria. Senyum terus
tersungging di bibirnya. Janji Hindun, istri Abu Sufyan, selalu
terngiang di telinganya: “Wahsyi, jika kau berhasil membunuh Hamzah, kau
akan menjadi orang merdeka, sama dengan kami.”
Wahsyi
membayangkan, alangkah indah hidupnya menjadi orang merdeka. Dia dapat
pergi semaunya, bekerja semaunya, istirahat semaunya. Tidak seperti
sekarang, semua serba tidak bebas.
Sebagai budak, dia harus
patuh, apa pun keinginan sang majikan. Senyum Wahsyi semakin melebar
tatkala membayangkan dirinya suatu hari nanti duduk bersama di qahwaji
dengan para bangsawan Quraisy seperti Abu Sufyan. Hindun sangat dendam
pada Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi SAW. Ayah dan saudara
laki-lakinya gugur di tangan Hamzah sewaktu Perang Badar pada tahun
kedua hijriah. Makkah sedang mempersiapkan pasukan tiga kali lebih besar
daripada pasukan Perang Badar untuk menyerang Madinah.
Kekalahan
dalam Perang Badar membuat kaum Quraisy terpukul. Lebih-lebih Hindun,
dendamnya sangat membara. Dia berharap dendamnya dapat dibalaskan oleh
Wahsyi.
Wahsyi maju ke medan Perang Uhud dengan konsentrasi penuh mencari
Hamzah. Dia ikuti ke manapun Hamzah bergerak. Hamzah tidak menyadari hal
itu. Hingga akhirnya, Wahsyi melemparkan tombaknya tepat mengenai
Hamzah. Paman Nabi yang gagah perkasa itu pun tersungkur, gugur sebagai
syahid. Wahsyi puas. Kemerdekaan sudah di depan mata.
Akan
tetapi, begitu kembali ke Makkah, dia kecewa. Memang tuannya menepati
janji. Dia dibebaskan dari perbudakan. Tetapi, harapannya untuk duduk
sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan para bangsawan Quraisy tidak
menjadi kenyataan. Pandangan terhadap dirinya tidak berubah, dia
dianggap masih kelompok kelas dua.
Sementara itu, keadaan terus
memburuk bagi pihak Quraisy. Serangan tentara sekutu dalam Perang Ahzab
gagal total. Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslim berhasil menguasai
Makkah. Wahsyi ketakutan. Makkah sudah jatuh ke tangan kaum Muslim.
Wahsyi khawatir Rasul SAW akan balas dendam. Oleh sebab itu, dia segera
melarikan diri ke Thaif.
Di kota yang berhawa sejuk itu, Wahsyi
tetap ketakutan. Dia ingin menyeberang ke Habasyah, melarikan diri jauh
dari Muhammad. Seseorang teman menasihatinya: “Wahsyi, sebenarnya engkau
hanya dikejar oleh dosamu sendiri. Ke manapun engkau lari,
bayang-bayangmu akan selalu mengikutimu. Lebih baik engkau pergi menemui
Muhammad, ucapkan dua kalimat syahadat dan minta maaf kepada beliau.”
Wahsyi
segera menemui Nabi SAW dan menyatakan keIslamannya seraya meminta maaf
telah membunuh Hamzah dalam Perang Uhud. Nabi meminta Wahsyi
menceritakan secara detail apa yang dilakukannya terhadap pamannya. Nabi
tidak dapat menyembunyikan kedukaannya.
Terbayang kembali
bagaimana paman beliau itu gugur. Nabi tidak akan membalas dendam.
Beliau hanya meminta Wahsyi tidak memperlihatkan wajahnya di hadapan
Nabi. Wahsyi tetap merasa bersalah, pikirannya belum tenang, sampai
kemudian pada zaman kekhalifahan Abu Bakar, dia berhasil membunuh
Musailamah al-Kadzab, yang mengaku sebagai nabi dalam harbur riddah.
Setelah itu Wahsyi tenang, utangnya membunuh seorang pahlawan Islam
terbayar dengan membunuh nabi palsu itu.
(",)v
Sumber : republika.co.id
Oleh : Prof. Yunahar Ilyas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
“Hello friend, jika artikel di atas menarik menurut kamu, jangan lupa berikan sepatah dua patah kata komentarnya ya.”