Allah SWT menciptakan makhluk dan memberinya kecenderungan sosial dan
fitrah dasar, agar saling memiliki keterikatan di antara mereka.
(",)v
Sumber : republika.co.id
Oleh : Dr. Muhammad Hariyadi, MA
Atas
dasar kecenderungan dan fitrah tersebut, manusia tidak dapat "hidup"
kecuali dengan berkelompok, agar kebutuhan dan kepentingan mereka saling
terlindungi, terselamatkan, saling bantu dalam kebaikan dan bekerjasama
dalam menciptakan kepentingan bersama/umum.
Atas dasar itu pula, Allah SWT memerintahkan manusia untuk taat kepada pemimpin yang telah dipilih di antara mereka.
Hal tersebut karena jika manusia tidak memiliki ikatan atau aturan (rabithah) kepemimpinan dalam suatu kelompok sebagai pedoman dan kesepakatan bersama, maka kepentingan umum tidak akan terealisasi dengan baik dan tidaklah ada bedanya sifat manusia dengan binatang.
Allah SWT menciptakan manusia, menangguhkan balasan dosa besar umat Muhammad SAW, dan memuliakannya di atas makhluk-makhluk lainnya. Pemuliaan tersebut nyata dengan penganugerahan akal yang berfungsi sebagai pembeda antara kebaikan dan keburukan, kebenaran dan kesalahan serta manfaat dan bahaya.
Allah SWT bahkan menambah anugerah akal itu dengan luapan kasih sayang-Nya yang tak terbatas melalui pengutusan para rasul dan Al Qur'an. Allah memerintahkan kepada manusia: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), serta Ulil Amri (pemimpin/pemegang kekuasaan) di antara kamu.” (QS. An-Nisa': 59).
Mengapa Allah memerintahkan kita taat kepada pemimpin? Kalau taat kepada Allah dan Rasul-Nya sudah jelas, karena Rasullah yang menyampaikan pesan-pesan (risalah) Allah. Adapun pemimpin, apa gerangan alasan kita untuk taat?
Tidak lain karena ketaatan kita kepada pemimpin memiliki arti kemanusiaan dan sekaligus ketuhanan; kebahagiaan dan persatuan; keselamatan dan kebersamaan; kerjasama dan persaudaraan, serta keteraturan dan ketaatan.
Sementara menentang pemimpin berarti perpecahan, penyempalan, pembolehan larangan, pertumpahan darah, penghalalan yang haram, bagaikan binatang ternak, tanpa penggembala atau berjalan tanpa petunjuk.
Tentu ketaatan kepada pemimpin bukan berarti taat tanpa reserve dan sikap kritis, karena Allah SWT melarang manusia taat kepada pemimpin dalam melanggar perintah-Nya. Pemimpin tidak lain merupakan representasi wakil Allah dalam urusan duniawi, agar visi memakmurkan bumi dan penduduknya dapat dilakukan melalui sistem yang teratur, tertib, berkeadilan dan ketaatan.
Maka pemimpin dengan segala nilai kekurangan dan kelebihannya harus di dukung, karena sejalan dengan sabda Rasulullah SAW, “Barang siapa taat kepadaku, maka sungguh ia telah taat kepada Allah. Dan barang siapa taat (kepada) pimpinan, maka berarti telah taat kepadaku.” (HR. Muslim).
Pengaitan ketaatan kepada pemimpin dengan ketaatan kepada Allah dan Rasulnya sebagaimana disebutkan di dalam hadis tersebut, mengandung rahasia kepentingan dan kemaslahatan bersama. Lebih dari dari itu, Allah SWT memerintahkan manusia bersatu dan melarang bercerai berai. (QS. Ali Imran: 103).
Bukankah srigala hanya akan memangsa kambing yang memisahkan diri? Demikianlah kiranya jika manusia tidak bersatu, maka akan mudah dihancurkan oleh lawan. Dan bukankah perselisihan di dalam sejarahnya telah banyak memakan korban dan mengakibatkan bencana yang menimpa umat manusia, disamping memperlambat laju kemajuan serta kemakmuran. Wallahu a'lam.
Atas dasar itu pula, Allah SWT memerintahkan manusia untuk taat kepada pemimpin yang telah dipilih di antara mereka.
Hal tersebut karena jika manusia tidak memiliki ikatan atau aturan (rabithah) kepemimpinan dalam suatu kelompok sebagai pedoman dan kesepakatan bersama, maka kepentingan umum tidak akan terealisasi dengan baik dan tidaklah ada bedanya sifat manusia dengan binatang.
Allah SWT menciptakan manusia, menangguhkan balasan dosa besar umat Muhammad SAW, dan memuliakannya di atas makhluk-makhluk lainnya. Pemuliaan tersebut nyata dengan penganugerahan akal yang berfungsi sebagai pembeda antara kebaikan dan keburukan, kebenaran dan kesalahan serta manfaat dan bahaya.
Allah SWT bahkan menambah anugerah akal itu dengan luapan kasih sayang-Nya yang tak terbatas melalui pengutusan para rasul dan Al Qur'an. Allah memerintahkan kepada manusia: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), serta Ulil Amri (pemimpin/pemegang kekuasaan) di antara kamu.” (QS. An-Nisa': 59).
Mengapa Allah memerintahkan kita taat kepada pemimpin? Kalau taat kepada Allah dan Rasul-Nya sudah jelas, karena Rasullah yang menyampaikan pesan-pesan (risalah) Allah. Adapun pemimpin, apa gerangan alasan kita untuk taat?
Tidak lain karena ketaatan kita kepada pemimpin memiliki arti kemanusiaan dan sekaligus ketuhanan; kebahagiaan dan persatuan; keselamatan dan kebersamaan; kerjasama dan persaudaraan, serta keteraturan dan ketaatan.
Sementara menentang pemimpin berarti perpecahan, penyempalan, pembolehan larangan, pertumpahan darah, penghalalan yang haram, bagaikan binatang ternak, tanpa penggembala atau berjalan tanpa petunjuk.
Tentu ketaatan kepada pemimpin bukan berarti taat tanpa reserve dan sikap kritis, karena Allah SWT melarang manusia taat kepada pemimpin dalam melanggar perintah-Nya. Pemimpin tidak lain merupakan representasi wakil Allah dalam urusan duniawi, agar visi memakmurkan bumi dan penduduknya dapat dilakukan melalui sistem yang teratur, tertib, berkeadilan dan ketaatan.
Maka pemimpin dengan segala nilai kekurangan dan kelebihannya harus di dukung, karena sejalan dengan sabda Rasulullah SAW, “Barang siapa taat kepadaku, maka sungguh ia telah taat kepada Allah. Dan barang siapa taat (kepada) pimpinan, maka berarti telah taat kepadaku.” (HR. Muslim).
Pengaitan ketaatan kepada pemimpin dengan ketaatan kepada Allah dan Rasulnya sebagaimana disebutkan di dalam hadis tersebut, mengandung rahasia kepentingan dan kemaslahatan bersama. Lebih dari dari itu, Allah SWT memerintahkan manusia bersatu dan melarang bercerai berai. (QS. Ali Imran: 103).
Bukankah srigala hanya akan memangsa kambing yang memisahkan diri? Demikianlah kiranya jika manusia tidak bersatu, maka akan mudah dihancurkan oleh lawan. Dan bukankah perselisihan di dalam sejarahnya telah banyak memakan korban dan mengakibatkan bencana yang menimpa umat manusia, disamping memperlambat laju kemajuan serta kemakmuran. Wallahu a'lam.
(",)v
Sumber : republika.co.id
Oleh : Dr. Muhammad Hariyadi, MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
“Hello friend, jika artikel di atas menarik menurut kamu, jangan lupa berikan sepatah dua patah kata komentarnya ya.”