Pagi itu suasana masih sangat dingin. Embun-embun pun belum menguap dari dedaunan padi yang bergoyang-goyang disapa oleh angin. Mentari yang masih muncul malu-malu menyebarkan kehangatan sinarnya menyirami pesawahan yang luas berkotak-kotak.
Di depan rumah, kakekku sedang duduk santai sambil menyeruput kopi buatan nenek yang dituangkannya ke dalam muk besar. Terkadang, dari mulut kakek keluar asap rokok yang mengepul. Fuih... bagi kakek, merokok adalah sebuah kebiasaan yang bermanfaat, sebab bisa memberi ketenangan sejenak. Meski terkadang nenek ngomel-ngomel karena candunya pada rokok tidak membuatnya sadar pada hidupnya yang semakin renta.
Entah kapan hari itu, namun aku ingat betul apa yang kutanyakan pada kakek.
“Kek, kenapa di dalam rumah kita ada benderanya?” tanyaku.
“Bendera? Bendera yang mana? Ini kan belum tujuh belas agustus, Sam?” Jawab kakekku dengan suaranya yang kendor, dan sepertinya ia juga berat mengucapkan kata-katanya.
“Ih, kakek. Bukan bendera tujuh belas agustus, Kek. Itu tuh. Bendera yang dibelitkan pada kayu itu. Kayu yang ada di suhunan rumah.” Aku menunjuk ke sebuah kain yang dibelitkan pada batang kayu yang terletak di suhunan rumah. Posisi bendera itu membelit bagian tengah batang kayu suhunan itu.
“Yang itu, kek.” Aku menambahkan sembari masih menunjuk-nunjuk.
“Oh, bendera itu. Itu bendera bangsa kita, Sam. Bendera negara Indonesia. Warnanya Merah Putih.” Jawab kakek, datar.
“Ih, si kakek, saya juga tahu itu Bendera Merah Putih. Tapi kenapa diletakkan di situ?” Aku mulai gereget pada kakek.
“Iya.. iya.. kakek juga ngerti pertanyaanmu. Nanti kakek ceritakan. Gak usah cemberut gitu.”
“Jangan nanti, kek. Sekarang aja.” Aku berkata sambil narik-narik sarung kakek. Sarung yang tidak pernah lepas melingkar di pundaknya.
“Iya, nanti setelah nyeruput kopi ini.” Dengan terpejam-pejam kakek nyeruput kopi, bibirnya berusaha menahan panasnya. Setelah itu meletakan muk kopi dengan hati-hati ke atas piring sebagi alasnya. Dia juga menambah hangantnya kopi dengan hisapan rokok Minak Djinggo kesukaannya. Fuuuiiih...
“Ceritanya sangat panjang sekali, Sam. Dan orang-orang disini tidak ada yang berniat menyimpan bendera itu di kayu suhunan rumah. Tidak ada yang mau menyembunyikan bendera itu.” Raut muka kakek tiba-tiba berubah. Keharuan bisa mudah kubaca dari air mukannya.
“Dulu masyarakat kampung ini masih sangat sedikit. Dan perkampungan terasa jauh, sebab tidak ada kendaraan seperti sekarang ini. Sedangkan hampir setiap hari walanda (Orang Belanda) atau orang-orang Indonesia yang tidak menyukai pemerintahan negara kita (NKRI) sering mengancam orang-orang kampung. Tidak sedikit orang-orang kampung ini yang hilang, tidak terdengar kabar, sampai akhirnya ditemukan sudah menjadi bangkai. Diantaranya ada sahabat-sahabat kakek.” Kakek, kembali menghisap rokok yang terselip diantara jemarinya.
“Meski negara ini sudah merdeka. Bahkan kami bersuka ria ketika mendengar proklamasinya. Namun, kemerdekaan bangsa belum bisa menghilangkan masyarakat ini dari ancaman, terkhusus ancaman gerombolan Orang Indonesia sendiri yang tidak menyetujui kemerdekaan, sistem pemerintahannya. Karena ketakutan kami, dan juga rasa cinta yang mendalam terhadap negeri ini. Rasa Merah Putih yang terhujam kuat di dada, dan kerinduan akan kecintaan kami pada Indonesia. Tapi, masyarakat disini terus dibayangi ketakutan, pendertitaan, dan kematian. Sedangkan Merah Putih ingin dikibarkan, berkelebat di langit biru. Akhirnya kami hanya bisa membelitkan merah putih pada suhunan kayu, tidak berani mengibarkannya. Jika kami nekat, sama saja mencari mati. Sebab, di mana saja Merah Putih berkibar, maka di situ akan ditemui penderitaan, cepat atau lambat. Kaum pria di sini rela mengorbankan jiwa dan raga untuk Indonesia, namun tidak sanggup jika harus berimbas pada penderitaan keluarga.” Kakek tertunduk, api rokok sudah mendekati jarinya.
“Di suhunan itulah Merah Putih kami letakkan.” kakek menunjuk Bendera yang dibelitkan pada sebatang kayu, kayu suhunan rumah. “Semua itu dilakukan karena atas dasar cinta kami kepada bangsa. Harapan kami akan kesejahteraan. Sehingga bukan saja terpatri dalam diri Merah Putih berkibar, namun di tiap rumah pun Merah Putih tidak pernah dilepas. Sebagai simbol, sebagai pengingat, bahwa kita adalah Indonesia, bangsa yang diperjuangkan dengan jiwa dan raga dan selamanya harus dipertahankan pula.” Kakek menghentikan kata-katanya untuk menghisap rokok. Asap dikepulkan ke udara. Dan rokok pun dibuang.
Pandangannya begitu tajam, penuh keharuan dan harapan. “Nak, kamu adalah generasi. Tugas kakek sudah selesai, meski tugas sebetulnya tidak pernah usai untuk Indonesia. Kamu harus meneruskan perjuangan bangsa ini. Merah Putih sudah berkibar, pertahankanlah. Bahkan tugasmu, mempertahankan bangsa ini, mungkin jauh lebih berat daripada perjuangan kakek yang hanya mengandalkan tenaga. Perjuangkanlah!”
***
Sepenggal kisah di atas memang hanya sebuah dramatis. Namun, kebenaran terselip pada kisah itu. Saya adalah anak kelahiran Indramayu, dan disanalah awal saya mengenal kehidupan, khususnya Indonesia. Kampung saya meski agak terpencil dan terletak diantara pesawahan. Namun, yang saya sadari dari kampung yang kecil ini adalah nuansa nasionalisme yang terasa.
Mungkin ada sisi pengecut yang saya tuliskan, tapi ada juga sisi cinta yang dalam untuk bangsa ini. Hanya karena demi sebuah perlambang negara, masyarakat kampung saya membelitkan Merah Putih pada kayu suhunan rumah. Dan sampai sekarang hal itu masih dilakukan. Sebagus apapun rumah yang dibangun, jika didirikan di kampung saya, maka harus ada bendera yang membelit kayu suhunannya.
Mungkin hal itu tidaklah seberapa dibandingkan dengan perjuangan. Namun, tradisi seperti ini syarat akan makna kebangsaan. Sebagai bentuk pengingat akan kesadaran dan tanggung jawab sebagai warga negara, masyarakat sudah sepatutnya meneruskan perjuangan bangsa ini.
Perjuangan saat ini memang tidak harus memegang senjata, bagi saya sebagai penulis biasa, mengguratkan untaian kata dengan “pena” yang menggugah arti pentingnya kehidupan dan bernegara pun sudah termasuk perjuangan kecil, sekaligus sebagai curahan rasa cinta dan bangga akan bangsa.
Merah Putih bukan hanya harus berkibar di langit nusantara, bukan pula terbelit kuat ditiang-tiang kayu suhunan, bukan pula tertempel kuat di seragam sekolah, tapi Merah Putih, harus tertanam kuat di dada segenap masyarakat bangsa, terhujam kuat sampai ke palung jiwa, menyentuh dinding kesadaran dan emosional. Menanamkan nasionalisme, rasa kebangsaan merupakan kewajiban bagi segenap manusia yang tinggal di Indonesia.
Mari saling menumbuhkan rasa kesadaran dan rasa tanggung jawab. Saling menasehati, saling mengingatkan. Merah Putih tidak akan pernah turun walau sejengkal, walau tubuh kering kerontang, darah muncrat berhamburan, atau raga binasa, sebab Merah Putih berkibar di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Indonesia Raya.
(",)v
Sumber : cinta-syamsudin.blogspot.com
Oleh : Dasam Syamsudin, Garut, 28 April 2011, Di Pondok Pesantren
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
“Hello friend, jika artikel di atas menarik menurut kamu, jangan lupa berikan sepatah dua patah kata komentarnya ya.”