World Dragonflies Association (WDA) atau komunitas pecinta capung internasional yang berpusat di Inggris, memberi sebuah laporan yang mengejutkan. Diberitakan, bahwa capung (dragonfly) di Indonesia terancam punah.
Tak mengherankan, semakin lama semakin bertambah susah saja menemukan capung terbang wara-wiri di alam bebas Indonesia. Jika diingat-ingat di tahun 80-an, kita masih sangat sering melihat koloni capung berterbangan di lapangan, diantara semak dan pepohonan, apalagi saat musim panas tiba.
Orang tua kita pun dulu masih memiliki kepercayaan akan sebuah mitos, bahwa capung bisa menghentikan kebiasaan mengompol anak-anak. Caranya, yaitu dengan membiarkan capung menggigit pusar di perut si anak. Pasti pernah mendengar kepercayaan demikian?
Dewasa ini, dimana kita bisa dengan mudah menemukan capung? Menurut Ketua Indonesia Dragonfly Society (IDS) Wahyu Sigit, catatan dari WDA berdasarkan temuan PBB menyebutkan, kondisi perairan di Indonesia sangat memprihatinkan. Padahal, kehidupan capung sangat tergantung pada kondisi air.
"Di beberapa daerah yang terdapat air, sudah banyak tidak ditemukan capung. Di Malang, capung tidak ditemukan di Talun atau sepanjang Sungai Brantas,” paparnya seperti dikutip dari tribunnews.
Keberadaan capung di Indonesia memang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Hal ini bisa disamakan dengan eksistensi kunang-kunang yang juga terancam punah.
Budayawan Prie GS pernah menyinggung hal ini dalam sebuah acara. Disebutkan, orang Jepang yang menyadari kunang-kunang telah musnah dari negeri mereka terpaksa beternak kunang-kunang, agar bisa disebarkan lagi di alamnya. Apakah hal yang sama akan dan terpaksa kita lakukan di negeri ini?
Catatan
Capung memiliki beberapa nama unik di setiap daerah. Orang Sunda menyebutnya papatong, di Jawa dikenal kinjeng, coblang, gantrung, atau kutrik. Orang Banjar mengenal kasasiur, dan di Flores disebut tojo.
Ironisnya, ada sekitar 700 jenis capung di Indonesia, dan 136 jenis di antaranya bisa ditemukan di Jawa. Faktanya, tidak banyak buku tentang capung untuk lebih mengakrabkan hewan pemakan jentik nyamuk dan hama di sawah ini.
Berdasarkan catatan IDS, hinggga kini hanya ada dua buku saja karya orang Indonesia yang membahas tentang capung, yaitu ‘Mengenal Capung’ karya Shanti Susanti terbitan Puslitbang Biologi-LIPI tahun 1998, dan kumpulan esai berjudul ‘Capung Teman Kita’ yang diterbitkan Pelestarian Pusaka Indonesia pada 2011 lalu.
Lalu, apakah kita sudah terlambat menyelamatkan capung dari kepunahannya? Dan apakah pada suatu saat nanti, anak cucu kita hanya dapat mendengar cerita soal capung tanpa dapat melihat wujud aslinya? Mari bersama kita lestarikan kembali keberadaan hewan unik dan lucu ini di alam bumi pertiwi Indonesia. Kalau tidak sekarang, kapan lagi???
(",)v
Sumber : apakabardunia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
“Hello friend, jika artikel di atas menarik menurut kamu, jangan lupa berikan sepatah dua patah kata komentarnya ya.”