Kamis, 01 Desember 2011
Batas-Batas Waktu (Renungan)
Datangnya bulan Muharam menandakan bergantinya tahun dalam sistem penanggalan Hijriah. Pergantian tahun sebetulnya hanyalah simbol. Sebab, tanpa tahun pun batas-batas waktu itu akan kelihatan juga. Bayangkan jika perjalanan manusia ini tanpa batas tahun. Seseorang lahir, lalu melewati waktu yang tak jelas perhitungannya, maka ia pun mati dalam usia yang tidak jelas. Ketidakjelasan usia ini sebenarnya tak jadi penghalang kematian.
Bayangkan pula jika simbol pergantian tahun ini tidak ada. Negara kita, Indonesia, tetap merdeka pada waktu itu. Soekarno menjadi presiden, dan tetap tidak lebih lama atau lebih cepat dari kenyataan sejarah yang pernah dilaluinya. Toh, para sejarawan pun dapat saja memberikan identitas zaman itu dengan menggunakan simbol yang lain, seperti tahun kelahiran Nabi Muhammad dengan nama "Tahun Gajah".
Jadi, meskipun tahun Masehi ketika itu tidak ada, dan tahun Hijriah tidak dideklarasikan, rentang waktu kehidupan Nabi Muhammad tentu tidak lebih dan tidak kurang dari kenyataan usia yang pernah dimilikinya, 63 tahun.
Alquran bahkan hanya menyebut pergantian waktu itu dengan istilah perputaran dan ditandai dengan bergantinya peristiwa alam siang dan malam. Tapi di sisi lain, Alquran menggarisbawahi adanya perputaran waktu sebagai tadzkirah (peringatan) untuk senantiasa menghitung (muhasabah) kualitas amal (ahsanu 'amala) yang pernah seseorang lakukan.
Dalam skala yang lebih luas, muhasabah itu juga dapat saja dilakukan untuk menghitung kualitas amal yang pernah dilalui suatu komunitas, atau bahkan bangsa dan negara. Mengapa, misalnya, kualitas amal negara tahun ini memprihatinkan; mengapa keterpurukan ekonomi terjadi tahun ini; dan mengapa konflik menjadi warna dominan perjalanan bangsa tahun ini. Kita juga masih bisa memperpanjang daftar pertanyaan itu sebagai instrumen evaluasi untuk menandai pergantian zaman.
Pergantian tahun, sebaiknya lebih dimanfaatkan bukan hanya untuk menghitung hari, tapi juga untuk menghitung realitas kehidupan. Ia berjalan mengikuti hukum dialektika sejarah yang hampir tidak bisa ditawar-tawar.
Jika tahun-tahun terakhir ini dinamakan era reformasi, hal itu dikarenakan tahun-tahun sebelumnya lebih diwarnai adanya kemapanan sosial yang menuntut perubahan. Ke depan, hukum dialektika sejarah itu pun akan menyediakan jalan bagi terbukanya era baru sebagai produk dari proses kontinum peristiwa-peristiwa yang pernah mendahuluinya.
Dari proses itulah kita dapat belajar untuk tidak mengulangi kesalahan. Sebab, jika seorang mukmin terperosok ke dalam satu lubang, maka cukup sekali kejadian itu terjadi. Alquran berkali-kali mengungkap peristiwa masa lalu.
Kisah diturunkannya Adam ke dunia, ingkar janjinya keturunan Israil (bani Israil), ketertindasan Muhammad bin Abdullah ketika diangkat menjadi Rasul, bahkan diabadikannya jasad Firaun. Semuanya diceritakan ulang dalam Alquran dengan maksud untuk memberikan pelajaran bagi generasi berikutnya agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Karena itu, becerminlah untuk menata masa depan. Lihatlah batas-batas waktu yang telah Allah sendiri tentukan.
(",)v
Sumber : koran.republika.co.id
Oleh : Prof. Dr. Asep S Muhtadi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
“Hello friend, jika artikel di atas menarik menurut kamu, jangan lupa berikan sepatah dua patah kata komentarnya ya.”