Kamis, 07 April 2011
Hukuman Untuk Koruptor (Renungan)
Selesai perang Badar, Nabi bermaksud membagikan harta rampasan perang. Salah satu rampasan perang itu berupa kain merah. Namun, dalam proses pembagian, kain itu tidak turut dibagi.
Sebagian orang mulai curiga dan menduga-duga. Sebagian lagi malah lebih berani, dengan langsung menuduh Nabi SAW telah menggelapkannya (ghulul). Nabi telah mengambilnya! Nabi telah mengambilnya!
Demikian kata orang-orang munafik. Mereka menuduh Nabi melakukan korupsi. Lalu, Allah menurunkan ayat, "Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat (ghulul) dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedangkan mereka tidak dianiaya," (QS. Ali Imran [3] : 161).
Ayat ini menegaskan bahwa antara kenabian dan penggelapan adalah dua hal yang bertentangan. Kenabian meniscayakan kesucian. Sedangkan penggelapan adalah perbuatan kotor. Tidak mungkin dua hal itu bertemu dalam diri seorang nabi. Allah mengancam setiap penyelewengan (dengan pembalasan yang setimpal di akhirat kelak).
Nabi SAW menegaskan, kecaman atas penggelapan uang rakyat dalam salah satu khutbahnya. Suatu ketika Nabi menemui para sahabatnya. Beliau berbicara tentang penggelapan dan menganggapnya sebagai persoalan yang besar. "Pada Hari Kiamat kelak, aku akan menjumpai salah satu di antara kalian datang dengan memanggul kambing yang terus mengembik dan kuda yang terus meringkik. Dia berkata, 'Tolong aku Rasulullah!' Aku menjawab, 'Aku tidak memiliki hak apa-apa (untuk menyelamatkanmu). Aku telah menyampaikan (larangan itu) kepadamu.'
Ada juga yang memanggul unta lalu berkata kepadaku, 'Rasulullah tolonglah aku!' 'Aku tidak memiliki hak apa-apa (untuk menyelamatkanmu). Aku telah menyampaikan (larangan itu) kepadamu.' Ada lagi yang datang dengan memanggul emas-perak, dan berteriak, 'Rasulullah tolonglah aku!' Aku menjawab, 'Aku tidak memiliki hak apa-apa (untuk menyelamatkanmu). Aku telah menyampaikan (larangan itu) kepadamu.'
Sebagian lagi datang dengan memanggul tumpukan kertas (catatan keuangan), dan merengek, 'Rasulullah tolonglah aku!' Aku hanya bisa menjawab, 'Aku tidak memiliki hak apa-apa (untuk menyelamatkanmu). Aku telah menyampaikan (larangan itu) kepadamu'." (HR al-Bukhari dan Muslim).
Sebagaimana disebutkan al-Bukhari, hadis ini adalah penjelas (tafsir) bagi ayat Ali Imran 161 di atas. Walaupun para pelaku korupsi telah memohon-mohon dan merengek minta syafaat, Nabi tidak akan memberinya. Mereka akan bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Tidak ada bedanya, sedikit atau banyak harta yang mereka selewengkan.
Dalam bahasa Arab, penggelapan harta milik bersama disebut ghulul. Awalnya, ghulul mencakup seluruh bentuk penggelapan harta bersama tanpa sepengetahuan pihak lain. Kemudian, maknanya menyempit dalam penggelapan harta rampasan perang. Demikian itu seperti dijelaskan oleh banyak mufasir. Menurut Ibnu Asyur, Ali Imran 161 menjadi dalil keharaman korupsi. Dan korupsi termasuk dosa besar. Sama seperti mencuri.
(",)v
Sumber : koran.republika.co.id
Oleh : Chairool Huda
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
“Hello friend, jika artikel di atas menarik menurut kamu, jangan lupa berikan sepatah dua patah kata komentarnya ya.”