Suatu malam, ketika Umar bin Khattab sedang meronda dan ingin mengetahui
kondisi rakyatnya, ia mendengar seorang wanita berkata kepada putrinya.
“Bangun dan bergegaslah ke (tempat) susu, campurkan air ke dalamnya.”
(",)v
Sumber : republika.co.id
Oleh : Makmun Nawawi
Mendengar hal itu, putrinya menjawab, “Ibu, tidakkah Ibu tahu ketetapan Amirul Mukminin?”
Ibunya berkata, “Bukan, itu bukan ketetapan Amirul Mukminin.”
Atas hal itu, putrinya berkata, “Justru itu perkara yang diserukannya. Ia mengimbau, janganlah mencampur susu dengan air.”
Namun sang ibu tetap ngotot. “Bergegaslah ke (tempat) susu, campurkan air ke dalamnya. Karena engkau berada di tempat yang tak dilihat Umar dan ia juga tidak menyerukannya.”
Spontan putrinya menjawab, “Ibu, jika Umar tidak tahu, tapi Tuhan Umar tahu. Tidak, aku tidak mau taat pada-Nya hanya dalam keramaian saja, tetapi maksiat dalam kesendirian.”
Maka begitu tiba waktu pagi, Umar berkata kepada anaknya, Ashim. “Pergilah ke rumah itu, karena di sana ada seorang gadis. Jika belum bersuami, nikahilah ia. Semoga Allah menganugerahimu keturunan yang diberkahi.” Setelah mengetahuinya statusnya, Ashim pun melamar gadis itu dan menikahinya.
Benar saja, setelah Ashim menikahi perempuan itu, ia dikaruniai seorang anak yang bernama Ummu Ashim (Laila). Setelah dewasa, anak itu dinikahi oleh Abdul Aziz bin Marwan. Dan, hasil dari pernikahan Abdul Aziz dan Ummu Ashim ini, lahirlah Umar bin Abdul Aziz, yang dikenal sebagai seorang pemimpin yang adil.
Dari kisah tersebut, kita melihat bagaimana Umar bin Khattab memilih calon menantunya. Bukan melirik keturunan, kedudukan, apalagi kekayaan, melainkan agamanya, sekalipun ia seorang yang miskin. Seperti pesan Nabi SAW, “Pilihlah perempuan yang mempunyai agama, niscaya engkau beruntung.”
Umar sangat terkesan dengan kualitas keimanan gadis itu, sehingga ia menjadikan anak itu sebagai pasangan untuk anaknya.
Apa yang dilakukan Umar ini merupakan langkah paling dini untuk meretas keturunan ideal dan generasi rabbani, yaitu memilih calon ibu yang salehah, paham akan hak Rabb-nya, hak suaminya, hak anak-anaknya, mengerti akan misinya dalam kehidupan.
Hari-hari belakangan ini, kita sering menyaksikan bagaimana pernikahan atau memilih calon menantu hanya dilandasi karena gengsi dan mengejar popularitas. Sementara kriteria agama diletakkan pada urutan terakhir, bahkan acap kali diabaikan.
Calon mertua amat bangga bila besannya memiliki sejumlah barang yang mewah dan perhiasan berlimpah kendati akhlak menantunya luput dari perhatiannya. Senada dengan orang tuanya, calon pengantin pun memiliki parameter yang sama.
Memang, kriteria harta, kecantikan, ketampanan, dan keturunan merupakan perkara yang dianjurkan oleh Rasulullah. Namun, jika mengabaikan pertimbangan agama, semua itu ibarat angka nol yang berjejer tiga, tak memiliki nilai sama sekali. Namun, begitu ditambah dengan angka satu, yakni kualitas agamanya, angka nol itu pun berubah menjadi seribu. Wallahu a’lam.
Ibunya berkata, “Bukan, itu bukan ketetapan Amirul Mukminin.”
Atas hal itu, putrinya berkata, “Justru itu perkara yang diserukannya. Ia mengimbau, janganlah mencampur susu dengan air.”
Namun sang ibu tetap ngotot. “Bergegaslah ke (tempat) susu, campurkan air ke dalamnya. Karena engkau berada di tempat yang tak dilihat Umar dan ia juga tidak menyerukannya.”
Spontan putrinya menjawab, “Ibu, jika Umar tidak tahu, tapi Tuhan Umar tahu. Tidak, aku tidak mau taat pada-Nya hanya dalam keramaian saja, tetapi maksiat dalam kesendirian.”
Maka begitu tiba waktu pagi, Umar berkata kepada anaknya, Ashim. “Pergilah ke rumah itu, karena di sana ada seorang gadis. Jika belum bersuami, nikahilah ia. Semoga Allah menganugerahimu keturunan yang diberkahi.” Setelah mengetahuinya statusnya, Ashim pun melamar gadis itu dan menikahinya.
Benar saja, setelah Ashim menikahi perempuan itu, ia dikaruniai seorang anak yang bernama Ummu Ashim (Laila). Setelah dewasa, anak itu dinikahi oleh Abdul Aziz bin Marwan. Dan, hasil dari pernikahan Abdul Aziz dan Ummu Ashim ini, lahirlah Umar bin Abdul Aziz, yang dikenal sebagai seorang pemimpin yang adil.
Dari kisah tersebut, kita melihat bagaimana Umar bin Khattab memilih calon menantunya. Bukan melirik keturunan, kedudukan, apalagi kekayaan, melainkan agamanya, sekalipun ia seorang yang miskin. Seperti pesan Nabi SAW, “Pilihlah perempuan yang mempunyai agama, niscaya engkau beruntung.”
Umar sangat terkesan dengan kualitas keimanan gadis itu, sehingga ia menjadikan anak itu sebagai pasangan untuk anaknya.
Apa yang dilakukan Umar ini merupakan langkah paling dini untuk meretas keturunan ideal dan generasi rabbani, yaitu memilih calon ibu yang salehah, paham akan hak Rabb-nya, hak suaminya, hak anak-anaknya, mengerti akan misinya dalam kehidupan.
Hari-hari belakangan ini, kita sering menyaksikan bagaimana pernikahan atau memilih calon menantu hanya dilandasi karena gengsi dan mengejar popularitas. Sementara kriteria agama diletakkan pada urutan terakhir, bahkan acap kali diabaikan.
Calon mertua amat bangga bila besannya memiliki sejumlah barang yang mewah dan perhiasan berlimpah kendati akhlak menantunya luput dari perhatiannya. Senada dengan orang tuanya, calon pengantin pun memiliki parameter yang sama.
Memang, kriteria harta, kecantikan, ketampanan, dan keturunan merupakan perkara yang dianjurkan oleh Rasulullah. Namun, jika mengabaikan pertimbangan agama, semua itu ibarat angka nol yang berjejer tiga, tak memiliki nilai sama sekali. Namun, begitu ditambah dengan angka satu, yakni kualitas agamanya, angka nol itu pun berubah menjadi seribu. Wallahu a’lam.
(",)v
Sumber : republika.co.id
Oleh : Makmun Nawawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
“Hello friend, jika artikel di atas menarik menurut kamu, jangan lupa berikan sepatah dua patah kata komentarnya ya.”