Kamis, 29 Desember 2011
Bijak Mengambil Keputusan (Renungan)
Saat menjadi hakim di Sijistan, Abdurrahman bin Abi Bakrah teringat pesan ayahnya saat hendak memutuskan perkara. "Aku pernah mendengar Rasulullah SAW berpesan, "Janganlah seorang hakim memutuskan suatu perkara di antara dua orang, sementara ia dalam keadaan emosi." (HR Bukhari 7158, Jawami' al-Kalim 6652).
Meski disampaikan ratusan tahun yang silam, pesan ini tetap aktual. Melihat banyaknya keputusan dan kebijakan yang mengalami kegagalan di tengah masyarakat. Abu Bakrah dalam riwayat di atas seakan telah memprediksi jika kebijakan yang diambil putranya dengan emosional itu akan menimbulkan persoalan yang lebih rumit, yang tidak lain hanya akan menghasilkan kerugian semua pihak. Oleh sebab itu, ia sangat mewanti-wanti sang putra, selalu berpegang pada wasiat Rasulullah SAW.
Kebijakan adalah konsep dasar yang menjadi pedoman cara bertindak dalam melaksanakan kepemimpinan. Kebijakan memiliki peran penting dalam menggapai cita-cita bersama. Kebijakan yang gagal cepat atau lambat akan memicu timbulnya persoalan lebih rumit. Sedangkan kebijakan yang efektif akan memberi angin segar tercapainya sebuah harapan.
Sebuah teori menyatakan suatu masyarakat atau organisasi terbentuk karena adanya kesepakatan-kesepakatan seluruh pihak (masyarakat). Dari teori tersebut, sebuah kebijakan akan efektif jika mendapat penerimaan dari masyarakat dan direspons secara positif. Sejalan dengan teori komunikasi, bahwa 'efektivitas' terjadi jika mampu memunculkan respons yang sesuai dengan keinginan penutur. Dengan kata lain, kebijakan efektif adalah kebijakan yang mendapat respons positif dari masyarakat selaras dengan apa yang dikehendaki pembuat kebijakan.
Kebijakan merupakan cermin dari kepemimpinan. Ketika tidak efektif maka yang paling bertanggung jawab adalah seorang pemimpin. Ia harus berbesar hati untuk mengevaluasinya. (QS al-Hasyr [59]: 18).
Setidaknya ada tiga hal penting yang mengantarkan sebuah kebijakan menjadi efektif. Pertama, adil dan baik dalam memutuskan kebijakan. (QS an-Nahl: 90). Kedua, objektif dalam mengambil keputusan. Artinya, keputusan itu didorong atas dasar keyakinan dan kebenaran, bukan karena kebencian dan emosional.
"Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum itu mendorongmu untuk tidak berlaku adil. Berlakulah adil, karena itu lebih dekat kepada ketakwaan. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan." (QS al-Maidah: 8).
Ketiga, senantiasa bermusyawarah dan memiliki tekad bulat. Musyawarah merupakan ciri orang beriman, sedangkan tekad bulat adalah manivestasi dari sifat tawakal (berserah diri) kepada Allah. (QS Ali Imran [3]: 59).
Oleh karena itu, setiap Muslim harus senantiasa melakuan evaluasi dan introspeksi diri, karena perbuatan itu merupakan ciri pribadi cerdas. Nabi SAW bersabda, "Orang yang pintar adalah orang yang mau introspeksi diri dan melakukan hal-hal untuk kehidupan sesudah mati. Sedangkan orang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah." (HR Tirmidzi 2459, Jawami' al-Kalim 2396). Wallahu a'lam.
(",)v
Sumber : koran.republika.co.id
Oleh : M Saifudin Kodiran
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
“Hello friend, jika artikel di atas menarik menurut kamu, jangan lupa berikan sepatah dua patah kata komentarnya ya.”