Pages

Subscribe:

Kamis, 21 Juli 2011

Kuasa Dan Moral (Renungan)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgJ-C-rdEBuAOWnz07ELJJ3N00bKjjvpyW4BX59pYqV_eWkIXadg7LTCwY5jYwsZzsZZzUWbEuUmjxi2-guDbdtn0ROh0fkNtsQ_kY8pnZE27ACm2JMjbeALqhkaxJMGyyRpDi2qXvMzMA/s1600/raja-kuasa.jpg

Dalam urusan duniawi, kuasa atau kekuasaan dianggap sebagai hal yang paling tinggi. Soalnya, dengan kuasa yang dimiliki, seorang bisa membayangkan hal-hal yang indah, seperti kekayaan, kehormatan, kenyamanan, dan kemudahaan dalam segala hal. Itu sebabnya, kata Imam Ghazali, kuasa itu memiliki daya tarik yang sangat tinggi. Bahkan, bagi sebagian orang, syahwat politik itu tak pernah padam, terus membara sepanjang hayat.

Penting diingat, kuasa dan kekuasaan itu bukanlah sesuatu yang buruk pada dirinya sendiri. Bahkan, dalam pengertian asalnya, kekuasaan (politik) merupakan sesuatu yang mulia, sebagai seni mengelola kota untuk kebaikan dan kemuliaan bersama seluruh penduduk negeri (Aristotelian). Tapi, kemudian terjadi stigma ketika kekuasaan (politik) tak lagi diabdikan untuk kemaslahatan bersama, melainkan hanya untuk kepentingan para elite yang korup dan despotik (Machiavellian).

Untuk itu, dalam fikih politik Islam (fiqh al-siyasah), kuasa tak boleh dipisah dan dilepas dari ikatan moral yang kuat. Kuasa tak boleh berjalan sendiri tanpa bimbingan dan arahan moral. Dalam hal ini, yang pertama dan utama adalah keharusan bersikap dan berlaku adil bagi para penguasa (`adalah al-imam). Dalam banyak hadis sahih, diterangkan bahwa imam yang adil (imamun `adil) adalah kelompok pertama yang akan mendapat perlindungan dari Allah SWT kelak di akhirat.

Namun, yang dimaksud adil di sini adalah keadilan yang luas dan dalam yang memenuhi segala unsur dan seginya (al-Jami` li syuriutiha). Menurut sebagian ulama, adil di sini setara dengan makna syariat atau agama itu sendiri. Dengan pengetian ini, seorang pemimpin, apalagi pemimpin tertinggi (al-imam) tak disebut adil bila tidak memahami dan melaksanakan syariat dan ajaran agama dengan baik sembari mendengarkan secara saksama nasihat dan bimbingan dari para ulama.

Dalam buku al-Tibr al-Masbuk Fi Nashihat al-Muluk (Nasihat Bagi Para penguasa), al-Ghazali mengemukakan beberapa prinsip yang menjadi muatan sikap adil penguasa. Di antaranya yang terpenting adalah lima prinsip berikut ini. Pertama, penguasa harus mengerti arti penting kekuasaan dan sekaligus mengerti bahayanya (an ya`rif qadra al-wilayah wa khathariha). Kedua, penguasa tidak boleh berlepas tangan (hand up) dari berbagai kerusakan dan kezaliman yang terjadi dalam masyarakat. Ia harus mengontrol dan mencegah semua aparat dan petugas negara dari kemungkinan berlaku zalim kepada rakyat.

Ketiga, penguasa harus memiliki kepekaan sosial (sense of crisis) dan ketajaman nurani. Alasannya, penguasa itu juga manusia, sama dengan masyarakat itu sendiri. Oleh sebab itu, demikian al-Ghazali, kalau ia merasa susah, dan tidak suka, dengan hal-hal yang tidak nyaman, seperti kumuh, miskin, macet, lapar, dan setersunya, maka hal yang demikian juga dirasakan oleh orang lain. Kelima, penguasa harus bersikap santun dan kasih sayang kepada rakyat. Nabi mendoakan kemuliaan di hari kiamat bagi penguasa yang santun dan pengasih.

Integrasi kuasa dan moral ini bukan hanya penting, melainkan menjadi penentu (determinant factor) bagi kemaslahatan dan kemajuan suatu bangsa. Wallahu a`lam.

(",)v




Sumber : koran.republika.co.id
Oleh : Dr. A. Ilyas Ismail Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

1 komentar:

“Hello friend, jika artikel di atas menarik menurut kamu, jangan lupa berikan sepatah dua patah kata komentarnya ya.”

Lazada Indonesia