Minggu, 06 Februari 2011
Menegakkan Hukum (Renungan)
Sahabat yang dikenal sebagai hakim yang adil, Syuraih bin al-Harits al-Kindi, mempunyai seorang anak yang berperkara dengan suatu kaum. Ia mengadukan perkaranya kepada sang ayah. "Ayahku, jika kebenaran itu ada padaku, adililah dan menangkanlah perkaraku. Sebaliknya, jika kebenaran itu ada pada kaum itu, putuskan kompromi dan damai saja dengan mereka," pinta sang anak.
Syuraih tidak langsung menuruti kemauan anaknya. "Mari kita bertemu di pengadilan bersama-sama dengan mereka." Di pengadilan, setelah kedua belah pihak memberi keterangan, Syuraih justru memenangkan perkara kaum itu.
Dalam perjalanan pulang ke rumah, sang anak menyampaikan kekecewaannya kepada ayahnya. "Engkau telah mempermalukanku di hadapan mereka. Kalau saja aku tahu keputasannya akan seperti itu, demi Allah, aku tidak akan mengadukan perkaraku itu kepadamu," kata sang anak.
"Wahai ananda, demi Allah, aku lebih mencintaimu daripada bumi dan segala isinya. Tetapi, cintaku kepada Allah tidak bisa dikalahkan oleh cintaku kepadamu. Allah jauh lebih mulia dan patut dicintai daripada engkau. Sungguh aku lebih takut menginformasikan kepadamu bahwa kebenaran itu ada pada mereka, lalu engkau mengajak mereka berkompromi dan berjual beli hukum sehingga hak-hak mereka terampas. Aku hanya bisa mengatakan dan memutuskan apa yang seharusnya aku putuskan," ujar sang ayah.
Setelah perkara itu diputuskan, anak Syuraih yang lain mengajukan jaminan kepada ayahnya agar anaknya yang diputuskan kalah di pengadilan itu tidak ditahan. Sang ayah menerima seorang itu sebagai jaminan. Namun, orang yang dijaminkan itu kabur dari tahanan. Syuraih pun memenjarakan anaknya sebagai kompensasi kaburnya orang itu.
Selama di penjara, setiap hari Syuraih mengantarkan makanan untuk anaknya. Sebagai orang tua, ia harus tetap menyayangi anaknya. Sementara sebagai hakim, ia harus bertindak adil, bijaksana, dan antijual-beli hukum. Setiap kali mengantarkan makanan itu, ia selalu menasihati anaknya.
"Wahai ananda, sungguh aku memutuskan perkara dengan memenangkan mereka itu bukan karena aku tidak sayang kepadamu, tetapi aku lebih menyakini bahwa kesaksian mereka itu benar. Aku tidak mengambil putusan karena prasangka atau intervensi penguasa, tetapi karena kesaksian mereka lebih dapat dipercaya. Aku kira engkau telah berbuat aniaya (zalim)".
Kata-kata bijak yang selalu disampaikan dalam proses peradilan juga dinasihatkan kepada sang anak. "Esok penegak hukum yang zalim akan mengetahui bahwa ia termasuk orang yang merugi. Sungguh, orang zalim itu sedang menanti hukuman, sedangkan orang yang dizalimi itu menanti keadilan. Demi Allah, tak seorang pun membiarkan sesuatu, karena Allah kemudian merasakan ketiadaan rasa keadilan itu".
Kisah tersebut memberi teladan kepada kita bahwa penegakan hukum itu harus adil, tanpa tebang pilih, dan bebas dari mafia hukum. "Seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya," tegas Nabi SAW. (HR Muslim). Kedekatan dan kecintaan seorang penegak hukum terhadap dunia seharusnya tidak mengalahkan cintanya kepada kebenaran dan keadilan yang bersumber dari Allah yang Mahabenar dan Mahaadil. Wallahu a'lam.
(",)v
Sumber : koran.republika.co.id
Oleh : Muhbib Abdul Wahab
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
“Hello friend, jika artikel di atas menarik menurut kamu, jangan lupa berikan sepatah dua patah kata komentarnya ya.”