Karya : Ahmad Fuadi
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Buku ini merupakan novel kedua dari trilogi karya Ahmad Fuadi. Seperti pada novel pertamanya "Negeri 5 Menara", novel kedua ini masih bercerita tentang kehidupan seorang anak kampung di Sumatera Barat, bernama Alif, yang bercita-cita besar ingin menaklukkan impian-impiannya selama ini. Dan satu per satu mimpi-mimpinya itu terwujud, setelah melewati banyak rintangan yang datang silih berganti.
Membaca novel ini, pembaca tidak akan merasakan seperti membaca novel pertamanya yang nuansan Islaminya sangat kental, karena si tokoh utama tidak lagi bersekolah di pondok pesantren. Ia melanjutkan cita-citanya ke sebuah universitas terkemuka di Jawa Barat.
Dan yang membuat novel kedua ini berbeda dengan sebelumnya, kali ini si tokoh utama berhasil mewujudkan impiannya untuk menginjakkan kakinya ke daratan Amerika, lewat usahanya mendapatkan beasiswa. Disini pembaca diajak berpetualang untuk menikmati kesan yang mendalam berada di negeri orang.
Dengan gaya bahasa yang ringan, deskriptif, dan mengalir apa adanya, membuat novel ini cukup menarik untuk di baca, selain memperkaya wawasan dan kosakata berbagai macam bahasa daerah, seperti bahasa daerah Minang, Medan, Sunda, serta bahasa internasional, Arab, Inggris, dan Perancis.
Catatan kaki di bagian bawah pun tidak ketinggalan untuk menjelaskan arti dari kata yang ada tersebut. Ungkapan-ungkapan, peribahasa-peribahasa, syair-syair, serta pantun-pantun pun turut hadir dalam penulisannya, seperti “Man jadda wajada - Siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil” dan “Man shabara zhafira - Siapa yang bersabar akan beruntung”, ungkapan yang paling sering dicantumkan pada novel terdahulu pun, masih bergema indah dalam novel ini.
Tentunya hal ini sangat penting dalam sebuah novel, karena akan mampu memberikan ciri khas yang mendalam. Pastinya, si pembuat novel akan dengan sangat mudah untuk selalu di ingat oleh para pembacanya.
Sinopsis
Alif yang merupakan lulusan dari Pondok Pesantren Madani (PM), memiliki impian untuk belajar hingga ke negeri Paman Sam. Dengan semangat membara, dia pulang ke kampung halamannya, Maninjau, Sumatera Barat, tak sabar ingin segera melanjutkan kuliahnya ke universitas.
Namun, kawan karibnya, Randai, meragukan dia akan mampu lulus UMPTN. Lalu dia sadar, ada satu hal penting yang tidak dimilikinya, yaitu ijazah SMA. Karena terinspirasi oleh semangat tim sepak bola Dynamit, Denmark, dia berusaha keras untuk mendobrak rintangan berat tersebut.
Baru saja dia bisa tersenyum puas, badai masalah menggempurnya silih berganti tanpa ampun. Alif pun hampir menyerah, tapi dia teringat oleh mantra sakti yang selalu didengung-dengungkan selama dia di PM “Man shabara zhafira - Siapa yang bersabar akan beruntung”.
Pengumuman UMPTN pun tiba, Alif diterima di HI, UNPAD. Meski tidak sesuai dengan pilihannya selama ini, yaitu ITB, akan tetapi Alif tetap menerimanya dengan penuh rasa syukur.
Dibekali sepatu hitam oleh ayahnya, Alif berangkat ke Bandung untuk memulai kuliah di universitas barunya. Berbagai tantangan dia hadapi selama kuliah di UNPAD, mulai dari keinginan menjadi seorang penulis dengan berguru ke seorang senior berdarah Batak bernama Bang Togar, yang mendidiknya dengan sangat keras.
Namun sungguh malang nasibnya, baru beberapa bulan Alif kuliah, ayahnya meninggal. Kehilangan sosok ayah yang menjadi tulang punggung keluarga, membuatnya goyah dan tertekan. Siapa yang bakal membiayai dirinya dan sekolah adik-adiknya?
Alif nyaris putus asa, tapi sosok seorang amak (ibu dalam bahasa Minang) selalu menyemangatinya, sehingga dia melanjutkan kembali kuliahnya. Kemudian dia mencoba untuk mandiri dengan berbagai usaha yang dijalaninya, mulai dari menjadi seorang guru private bahasa, menjual barang-barang katalog, serta kain produksi Minang.
Selama menjalani aktivitasnya itu, Alif merasa tidak berbakat, hingga akhirnya dia jatuh sakit karena terlalu capek. Setelah sembuh, akhirnya Alif mencoba mendatangi Bang Togar lagi untuk digembleng agar bisa menjadi penulis artikel seperti dirinya.
Setelah melewati beberapa fase pendidikan yang keras dari Bang Togar, akhirnya artikel Alif berhasil dimuat di salah satu media lokal ternama di Bandung. Dari sini dia mulai mencoba dan mencoba terus, hingga artikelnya berhasil menembus dan di muat di media-media nasional.
Dengan demikian, dari hasil honor artikel-artikelnya itulah, Alif akhirnya bisa membiayai dirinya serta keluarganya di kampung dan menjalani kuliahnya dengan bersemangat dan lebih baik lagi.
Dalam perjalanan kuliahnya, Alif mencoba mengikuti tes pertukaran pelajar ke Amerika. Bermodalkan niat dan tekad yang kuat dan membara, Alif pun berhasil lolos dengan berbagai pertimbangan yang diberikan oleh panitia, Kanada.
Tempat yang akan Alif tuju itu ialah impiannya untuk menginjakkan kaki di Amerika yang akhirnya bisa tercapai. Raisa, seorang gadis yang Alif sukai, ternyata lolos juga dalam seleksi pertukaran pelajar tersebut.
Alif menambah banyak teman, dari rombongan pertukaran pelajar tersebut. Di sebuah kota kecil Quebec, Kanada, Alif tinggal bersama homologue-nya yang bernama Francois Pepin di home stay parent mereka bernama Mado dan Ferdinand, Lepine familys.
Banyak pengalaman yang Alif dapatkan saat berada di Kanada, mulai canda, tawa, sedih, cinta, bercampur menjadi satu hingga, Alif mendengarkan pernyataan dari Raisa secara tidak sengaja yang menyatakan, bahwa dia tidak ingin pacaran, tapi ingin langsung ke jenjang pernikahan.
Hal ini menyebabkan Alif mengurungkan niatnya untuk menyatakan perasaannya. Dia pun akhirnya menyimpan surat cintanya untuk Raisa, hingga dapat diberikannya pada suatu hari nanti.
Setahun berlalu, Alif dan rombongan pertukaran pelajar kembali ke Indonesia. Beberapa tahun kemudian, Alif pun akhirnya lulus kuliah. Tapi, di hari kelulusan itu, saat dia ingin menyerahkan surat tersebut ke Raisa, hal yang tidak disangka-sangka pun terjadi, Raisa telah bertunangan dengan Randai, kawan karibnya. Dengan perasaan yang campur aduk, dia berusaha mencoba untuk menerimanya.
Setelah 10 tahun, Alif menepati janjinya ke Mado dan Ferdinand, Lepine familys, untuk mengunjungi mereka kembali di Kanada dengan istrinya. Di puncak bukit kota itu, dia menatap matahari dengan istrinya dan bernostalgia akan perjuangannya yang keras dia bisa menjadi besar seperti saat ini, yaitu berkat 2 mantra dari Pondok Madani “Man jadda wa jadda” dan “Man shabara zhafira”.
Secara keseluruhan, novel ini patut untuk diberi jempol. Sebuah perjuangan dan tekad yang keras seorang anak kampung, di dalam mewujudkan impiannya yang tidak masuk akal, ternyata mampu untuk diwujudkannya, asalkan berani dan sabar.
Sebuah semangat yang harus dimiliki oleh semua generasi muda Indonesia di dalam menggapai impiannya demi mengarungi kehidupan di masa yang akan datang.
Mengutip penggalan beberapa kalimat dari halaman novel ini :
“…Jarak antara sungguh-sungguh dan sukses hanya bisa diisi dengan sabar. Sabar yang aktif, sabar yang gigih, sabar yang tidak menyerah, sabar yang penuh dari pangkal sampai ujung yang paling ujung yang paling ujung…”
“Bagaimanapun tingginya impian, dia tetap wajib dibela habis-habisan walau hidup sudah digelung oleh nestapa akut. Hanya dengan sungguh-sungguhlah jalan sukses terbuka…Man shabara zhafira. Siapa yang sabar akan beruntung.”
“Sabar itu awalnya terasa pahit, tetapi akhirnya lebih manis daripada madu.”
(",)v
aq sangat suka dengan NEGERI 5 MENARA. pengen banget baca yg RANAH 3 WARNA.. :)
BalasHapusHarus dibaca,, beda sensasinya dengan Negeri 5 Menara ;)
Hapus