Pages

Jumat, 10 Agustus 2012

"Astrolab" Komputer Saku Bangsa Islam Pada Abad Pertengahan



Pada abad pertengahan ternyata bangsa-bangsa Islam sudah memiliki "komputer ajaib" yang bisa membantu mengetahui waktu dan posisi benda-benda di angkasa, membantu dalam pelayaran, mempertahakan keakuratan kalender, memperkirakan gerhana, bahkan mengukur bumi.

Komputer ajaib yang bernama Astrolab ini umumnya berukuran tidak besar, bentuknya bundar, mirip seperti jam saku dengan diameter 15 cm saja (ada beberapa yang dibuat dalam skala besar).

Astrolab merupakan peranti astronomi yang paling penting sebelum era teleskop muncul. Ilmuwan abad pertengahan di Timur Tengah, khususnya bangsa Islam telah menggunakan alat ini untuk berbagai hal, seperti tertulis di awal artikel.

Astrolab secara prinsip sebenarnya sudah ada sejak sekitar 150 SM. Namun, bentuk fisiknya baru muncul kira-kira 400 M. Alat ini menjadi bagian penting di periode Islam sejak tahun 800 M.

Astrolab terdiri dari sebuah model langit yang tertera pada lempeng logam melingkar. Di sekliling lingkar luar lempeng logam itu terukir skala derajat, atau kadang penanda waktu. Jarum penunjuk yang bisa diputar (alidad) digunakan untuk menentukan ketinggian suatu bintang ketika peranti ini diangkat setinggi lengan yang teracung. Hasilnya, kemudian terbaca pada ukuran berskala.

Dengan astrolab ini, penggunannya juga bisa mengenali bintang-bintang, memprediksi kapan matahari terbit dan tenggelam setiap hari, menentukan jarak ke Mekah, menyurvei tanah, menghitung tinggi objek, hingga berlayar.





Tak heran, jika bangsa-bangsa Islam di masa itu menjadi petualang tangguh, baik di darat atau laut. Lewat merekalah, akhirnya astrolab diperkenalkan kepada bangsa Eropa melalui Spanyol (Moor).

Meskipun bangsa Yunani dulu sudah meyakini bentuk bumi adalah bulat, entah mengapa pada perkembangannya bangsa-bangsa di Eropa lebih menerima pendapat soal bumi yang datar. Mata mereka mulai terbuka setelah Copernicus dan Galileo-Galilei memberi pembuktian soal bumi bulat, meski Galileo-Galilei sendiri ditentang habis-habisan oleh pihak gereja karena pandangan-pandangan ilmiahnya soal tata surya.

Padahal dalam Perjanjian Lama, kitab suci umat Kristen sendiri, sudah tertulis jelas tentang ikhwal bumi itu bulat. Demikian juga di dalam Al Qur'an dikatakan, bahwa bentuk bumi itupun bulat. Ilmuwan-ilmuwan muslim dikala itu membuktikan keimanan mereka dengan penyelidikan lebih lanjut, diantaranya melalui astrolab ini.

Sekitar abad 9 M, saat bangsa Islam menguasai separuh dunia, naskah-naskah ilmiah seperti karya astronom Yunani Ptolemeus diterjemahkan ke bahasa Arab. Dinasti Abbasiyah juga mendapatkan naskah-naskah Sansekerta yang kaya akan informasi tentang matematika, astronomi, dan ilmu pengetahuan lainnya.

Observatorium juga banyak dibangun di kota-kota tempat peradaban Islam berada. Di tempat ini, para ilmuwan memiliki berbagai alat paling canggih di masa itu, seperti astrolab, kuadran, sekstan, dan jam matahari.

Penetapan Mekah sebagai kiblat, mendorong cendikiawan Muslim mempelajari ilmu falak. Sejak abad 13, banyak masjid dibangun memperkerjakan seorang astronom profesional (muwaqqit), sehingga bisa menentukan arah kiblat secara tepat. Lagi-lagi, komputer saku astrolab jadi panduan utama.





Tidak itu saja, ilmuwan Muslim bisa menentukan tanggal dan hari-hari raya untuk ibadah berdasar pengamatan pada peredaran bulan dan matahari, dan mereka juga bisa membantu orang yang akan naik haji merencanakan rute perjalanan paling efisien ke Mekah.

Ini satu contoh ilmu mutakhir yang hingga kini diakui kebenarannya :

Tahun 1031, Abu Raihan al-Biruni sudah menyebutkan kemungkinan, bahwa planet-planet berotasi mengikuti orbit yang elips, bukan bulat.


Mengukur Bumi

Ekspansi Islam ke berbagai belahan bumi menciptakan pembuatan peta bumi ini, termasuk pembuatan globe. Para pembuat peta berupaya keras melakukan pengukuran yang akurat.

Khalifah al-Makmun pernah mengutus dua tim survei ke Gurun Siria dilengkapi astrolab serta tongkat dan tali pengukur. Dua tim tersebut berjalan berlawan arah, hingga mereka mengamati satu derajat perubahan ketinggian Bintang Utara. Hasil perhitungan mereka menunjukkan, bahwa jarak yang mereka tempuh sama dengan satu derajat garis Lintang, atau 1/360 keliling bumi.




Monumen Astrolab, Dubai


Jadi, setelah dikalkulasi, keliling bumi dari kutub ke kutub adalah 37,369 kiometer. Perhitungan ini sangat mendekati dengan hasil teknologi modern jaman sekarang, yakni 40,008 kilometer.

Maka kesimpulannya, peradaban bangsa Islam kala itu sudah berada pada tingkat kejayaan yang tinggi, jauh sebelum dari peradaban bangsa Eropa, menyebar hingga ke ujung-ujung bumi, melintasi daratan-daratan benua yang ada di dunia.

(",)v




Sumber : apakabardunia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

“Hello friend, jika artikel di atas menarik menurut kamu, jangan lupa berikan sepatah dua patah kata komentarnya ya.”