Ampenan merupakan sebuah kecamatan di kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Daerah ini dahulunya merupakan pusat kota di Pulau Lombok. Di sebelah barat berbatasan dengan Selat Lombok, yaitu laut yang menghubungkan antara Pulau Lombok dengan Pulau Bali.
Di kecamatan ini terdapat peninggalan kota tua yang dahulunya merupakan pelabuhan utama daerah Lombok. Terdapat banyak kampung yang merupakan cermin perwujudan dari berbagai suku bangsa di Indonesia disana.
Diantaranya terdapat Kampung Bali, Kampung Bugis, Kampung Melayu, Kampung Banjar, Kampung Arab, Kampung Tionghoa, dan lain sebagainya, sehingga masyarakat yang ada di sini bersifat heterogen dan rukun.
Alkisah pada zaman dahulu kala, kerajaan Bali menyerang untuk memperluas wilayahnya dan berhasil membakar sebuah desa bernama Kenaga. Saat itu, yang menjadi pusat pemerintahan kerajaan Kenaga adalah Suradadi. Raja atau Datunya bernama Raden Satria Nata atau Datu Satria Nata.
Setelah kalah perang dengan Bali, Raden Satria Nata bersama pengikutnya mencari tempat untuk dijadikan desa yang baru. Akhirnya, dijumpailah sebuah tempat yang mirip dengan desa Kenaga.
Desa itu diberi nama desa Madya. Raden Satria Nata dan para pengikutnya kemudian membuka ladang dan bercocok tanam disana. Tanaman yang paling cocok untuk bercocok tanam disana adalah jenis “komak” (dalam bahasa Jawa disebut “kara”).
Konon katanya, pada saat komak sedang berbunga, datanglah putri Jin yang mengisap sari bunga komak. Salah satu putri Jin tertangkap oleh Raden Satria Nata. Singkat cerita, putri Jin itu kemudian menjadi permaisuri Raden Satria Nata. Namun, kedua belah pihak telah bersepakat untuk tidak saling berbicara selama menjadi suami istri.
Dalam perkawinan mereka, lahirlah seorang putra yang sangat disayang oleh Raden Satria Nata. Perasaan itu ingin ia ucapkan kepada istrinya. Namun, hal itu tidak mungkin, karena ia tidak ingin melanggar janji yang telah disepakati bersama.
Pada suatu hari, sang istri pergi ke perigi (sumur) untuk mengambil air. Anaknya ditidurkan di atas “geong” (ayunan). Pada waktu itu, sang bayi sudah bisa duduk. Kesempatan itu dipergunakan oleh Raden Satria Nata untuk mengambil selendang yang biasa dipakai untuk menggendong putranya, lalu disembunyikan. Sejenak ia mengelus putranya yang sedang tidur nyenyak.
Tidak berapa lama kemudian, datanglah sang ibu. Sesampai di rumah, sang ibu melihat putranya sudah bangun dan menangis. Maka diangkatlah putranya itu sambil mencari-cari selendangnya. Tanpa bicara sedikit pun, sang ibu keluar masuk kamar mencari selendangnya, namun hal itu sia-sia belaka karena selendang itu tidak dijumpainya.
Melihat wajah istrinya dan tingkah lakunya yang kebingungan, Raden Satria Nata bertanya, “Apa yang sedang engkau cari? Barangkali ini.” Ia berkata sambil menyodorkan selendang yang diambilnya.
Istrinya segera mengambil selendang itu dan dengan sopannya ia bersimpuh dan berkata, “Sampai disini kita hidup bersama. Saya terpaksa meninggalkan kanda, karena kanda telah melanggar janji yang telah kita sepakati.” Kemudian, ia bangkit dan pergi mengambil “joman” (jerami) lalu dibakarnya. Sang putri bersama Putranya lenyap bersama lenyapnya kepulan asap jerami.
Raden Satria Nata tak mampu menahan kepergian istrinya itu, kemudian lantas ia pun pingsan. Setelah siuman, ia dianjurkan untuk bertapa di gunung Sesang, agar bisa bertemu kembali dengan anak istrinya.
Selama sembilan hari sembilan malam, ia tidak bisa berjumpa dengan istri dan anaknya. Hanya suara istrinya yang terdengar. Istrinya mengatakan, bahwa dirinya tak mungkin kembali lagi.
Yang mungkin kembali adalah putranya, dengan syarat harus diadakan upacara selamatan dengan sesajen yang dilengkapi dengan dulang sebanyak empat puluh empat macam dan dibawa ke desa Kenaga.
Kemudian diadakanlah upacara yang dipimpin oleh Nek Sura, putranya dapat kembali dan dipelihara oleh Nek Sura. Namun, Raden Satria Nata tidak puas sebelum berjumpa dengan istrinya, dan yang ditunggu pun tidak kunjung datang. Akhirnya, Raden Satria Nata meninggal di dalam pertapaannya.
Sementara itu, putra Raden Satria Nata telah berumur enam tahun, namun belum diberi nama. Lalu, dicarilah orang yang bisa memberi nama. Tujuannya adalah ke Majapahit, tempat leluhurnya, barangkali ada yang bisa memberi nama.
Konon, pada saat menunggu perahu untuk menyeberang ke Bali, tiba-tiba datanglah seorang tua yang mengaku keturunan Satria Dayat, satu-satunya yang berhak memberi nama kepada putra Raden Satria Nata.
Akhirnya, kemudian putra Raden Satria Nata diberi nama “Satria Tampenan”, yang arti dari Tampenan sendiri ialah tempelan, karena pada badan Satria Tampenan memiliki ciri khas, yaitu sebelah putih dan sebelah hitam. Dari nama Satria Tampenan inilah konon nama kota Ampenan berasal. Keturunan Satria Tampenan terdapat di desa Suradadi, Kabupaten Lombok Timur.
Sumber : mythdunia.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
“Hello friend, jika artikel di atas menarik menurut kamu, jangan lupa berikan sepatah dua patah kata komentarnya ya.”