Pages
▼
Sabtu, 26 November 2011
Emosi Haji (Renungan)
Seruan perintah haji oleh Allah SWT melalui Nabi Ibrahim ternyata efektif mengundang masa ibadah haji yang tidak pernah surut. Setiap tahun jutaan umat Islam dari belahan dunia datang ke Kota Suci Makkah dengan menelan emosi massa yang berjumlah besar.
Kondisi ini memancing L Stoddard, seorang cendekiawan Barat, dalam bukunya, The Rising Tide of Colour, bersinyalemen bahwa siapa pun tidak akan mampu membendung pelaksanaan ibadah haji di Kota Suci tersebut. Sinyalemen ini bukan omong kosong karena meski berkali-kali terjadi bencana tragis yang merenggut banyak nyawa manusia, ibadah haji di Kota Suci tetap berjalan dan tidak pernah berkurang.
Ini suatu bukti panggilan Allah telah berhasil menggerakkan hati umat Islam untuk beribadah haji. Mereka jamaah haji yang terdiri dari segmen yang tertinggi hingga yang terendah pergi meninggalkan sanak keluarga dan rela melepaskan uang banyak demi memenuhi ibadah yang paling bergengsi. Bahkan, demi ibadah haji, terdapat jamaah yang rela menjual satu dua petak sawah, padahal itu satu-satunya modal penyambung hidup.
Emosi jamaah haji semakin tak terbendung ketika sudah berada di zona-zona peribadahan. Sebut saja ketika menjalani ritual lempar jumrah dengan jumlah masa yang demikian masif dan berjubel, mereka saling menerobos tanpa rasa takut ditimpa tragedi dan bencana. Padahal, di tempat itu sering kali jamaah haji terkena bahaya yang amat mengenaskan. Begitupun ketika ritual tawaf dengan massa bertimbun padat mereka saling berebut mengejar batu hajar Aswad hanya untuk menciumnya tanpa peduli kepalanya terkena benturan.
Demikian emosi ibadah haji ini membara dalam luap dan gerak refleksi para jamaah di luar dimensi kesadaran berfisik. Mereka tak peduli apa dan siapa yang menyentuh, bahkan yang menerjang fisiknya, kecuali tersekap kepuasan rohaniah di genggaman kenikmatan beribadah haji. Oleh karena itu, tidak perlu heran bila terdapat orang yang berkecanduan ibadah haji dengan menunaikannya berulang-ulang hingga puluhan kali. (QS al-Hajj [22]: 27).
Gambaran emosi ibadah haji tersebut di atas dari sisi ritual amat masuk akal karena sejalan dengan sistem keyakinannya dalam mematuhi perintah ibadah. Hal ini secara simbolis mungkin dapat memelihara kesinambungan kepuasan ritual ibadah. Namun, secara simbolis, ritual saja tidak cukup tanpa berbanding lurus dengan realitas perilaku keseharian hidup para jamaah seusai menunaikan ibadai haji.
Kepuasan ibadah yang diukur dengan selera nafsu (emosi) belaka membuat efek ibadah haji berhenti di permukaan. Sementara sisi kedalamannya, yaitu untuk mengubah kehidupan ke arah yang lebih bermakna (haji mabrur) tidak terwujud. Itu sebabnya banyak produk haji yang kita miliki belum bisa mengubah kebiasaan buruknya. Ironisnya, tidak sedikit yang sudah menunaikan haji yang kini duduk di lembaga publik justru menjadi bagian yang tersandung hukum.
"Sekiranya seseorang bernafsu meletakkan kepalanya di atas hajar Aswad, lalu puasa di siang hari penuh dan shalat semalam suntuk, tentu Allah akan membangkitkan orang tersebut di hari kiamat bersama hawa nafsunya." (HR ad-Darimi).
(",)v
Sumber : koran.republika.co.id
Oleh : Prof. DR. H. Fauzul Iman, MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
“Hello friend, jika artikel di atas menarik menurut kamu, jangan lupa berikan sepatah dua patah kata komentarnya ya.”