Pages

Rabu, 17 Agustus 2011

Menyeleksi Pertolongan (Renungan)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGau0fQVFLgjgQKRwbe5kkz5sFHOXf10B-j2WOuxKCxZvcp99w4Kt-RtWLQRPVDKmoUCl8TocEscCHNSmcXBGAVYS-f7fBdauFxdXiDuI-GzeUWQRNjBdHkRYO_VqIE1Uv1wx-RNAY8F3Y/s1600/tolong-menolong.jpg

Menolong adalah perilaku yang bajik dan luhur. Namun, seperti pisau yang bermata dua, perilaku menolong bisa menjadi amal kebajikan bagi pelakunya, bisa pula menjadi kedosaan yang eksesnya tidak hanya kelak di akhirat, tetapi juga langsung terasa di dunia kita sekarang ini. Misalnya, orang yang menyembunyikan sang buronan — karena alasan ingin menolongnya, bukankah akan terkena getahnya pula? Karena batas antara kesalehan dan kesalahan begitu tipis. “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (al-Maidah [5]: 2).

Dalam arena kehidupan yang luas ini nyaris tak ada perilaku seseorang yang lepas dari sentuhan dan bantuan orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka itu, sikap saling menolong menjadi suatu kewajaran sekaligus tidak bisa dihindari. Namun, dari sekian banyak model interaksi manusia dengan sesamanya— sebagai wahana untuk mengimplementasikan sikap tolong-menolongnya, seseorang juga dituntut untuk pandai-pandai menyeleksi jenis pertolongan yang layak diberikan kepada orang lain.

Dalam kaitan ini, Rasulullah bersabda, “Tolonglah saudaramu yang menindas (zalim) dan yang ditindas ( mazhlum).” Rasul lantas ditanya, “Saya bisa menolong saudara yang tertindas, tapi bagaimana saya menolongnya, jika dia orang yang zalim?” Rasulullah kemudian menjawab, “Engkau larang dan cegah dia dari berbuat zalim, itulah pertolonganmu padanya.” (HR Ahmad).

Dengan demikian, pertolongan yang diberikan kepada sesama harus diletakkan dalam kerangka keimanan, amal saleh, dan nilai-nilai luhur. Maka itu, menolong untuk hal-hal yang berbau maksiat dan mudharat menjadi naif dilakukan. Karena dengan menolong berbuat maksiat, ia menjadi kemaksiatan itu sendiri. Mengapa begitu, karena secara psikologis, ketika pelaku kemaksiatan itu ditolong atau diberi dukungan moril, akan timbul padanya kecongkakan, tidak merasa bersalah, dan tidak memberikan efek jera padanya. Bahkan, bisa jadi memicu orang lain untuk berbuat hal yang sama.

Itulah sebabnya mengapa Sofyan ats-Tsauri begitu tegas, ketika ditanya tentang orang zalim yang hampir binasa di gurun pasir, bolehkah ia diberi air minum? Ia menjawab, biarkan saja ia sampai mati. Sebab, hal itu membantunya (berbuat zalim).

Larangan untuk menolong hal-hal yang mengandung kemaksiatan ini, bukan saja menyangkut hubungan yang sejajar atau selevel, bahkan dalam konteks kepemimpinan pun dilarang untuk patuh pada pemimpin yang memerintahkan kemaksiatan. Nabi bersabda, “Mendengar dan taat adalah hak selama tidak diperintah untuk maksiat; jika diperintah untuk maksiat, tidak wajib untuk mendengar dan patuh.” (HR Bukhari).

Sehari setelah dibaiat menjadi khalifah, Abu Bakar ash-Shiddiq pun berseru, “Taatlah kalian kepadaku selama aku taat kepada Allah. Jika aku maksiat kepada-Nya, tidak ada kewajiban atas kalian untuk taat kepadaku.”
Wallahu A‘lam bish-shawab.


(",)v




Sumber : koran.republika.co.id
Oleh : Ustadz Makmun Nawawi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

“Hello friend, jika artikel di atas menarik menurut kamu, jangan lupa berikan sepatah dua patah kata komentarnya ya.”