Pages

Minggu, 05 Juni 2011

Melawan Kejahatan (Renungan)


http://www.mn150years.org/wp-content/uploads/2010/03/Minnesotas-Crime.jpg

Islam mengajarkan adanya tanggung jawab sosial (al-mas'uliyah al-Ijtima'iyah) di samping tanggung jawab individual (al-mas'uliyah al-syakhshiyah). Tanggung jawab sosial itu terlihat dengan jelas pada doktrin amar makruf nahi mungkar, yaitu kewajiban setiap Muslim untuk mengajak manusia kepada kebaikan, dan mencegah mereka dari kejahatan (QS Ali Imran [3]: 110).


Merujuk pada ayat di atas, maka transformasi sosial dan kultural masyarakat Islam yang menuju pada kualitas "the best ummah" (khaira ummah), harus diupayakan melalui sekurang-kurngnya dua jalan. Pertama, amar makruf, yaitu humanisasi melalui pengembangan SDM umat. Kedua, nahi mungkar, yaitu liberasi melalui pencegahan dan pembebasan masyarakat dari akar-akar kejahatan.

Dalam bahasa Alquran, kejahatan itu dinamai "al-munkar" atau "al-munkarat". Terma munkar, menurut al-Ishfahani, adalah lawan dari ma`ruf, yang berarti sesuatu yang buruk atau yang dipandang buruk oleh agama dan budaya atau pemikiran (akal sehat). Bagi Sayyid Quthub, munkar adalah sistem dan tata-nilai jahiliah yang bersumber dari kemusyrikan atau paham politeisme di mana terjadi penuhanan oleh manusia atas manusia yang lain selain Allah (QS Al-Taubah [9]: 31).

Seperti amar makruf, aktivitas mencegah dan melawan kejahatan (al-nahy `an al-munkar) harus pula dilakukan dengan cara-cara yang baik (ma`ruf), santun disertai rasa tanggung jawab yang tinggi. Sebagai bagian dari dakwah, nahi mungkar tak boleh keluar dari tiga koridor yang digariskan oleh Allah SWT, yaitu dengaan ilmu dan kearifan (bi al-hikmah), dengan nasihat yang baik (al-mau`izhah al-hasanah), dan dengan dialog yang beretika (al-hiwar al-ahsan). (QS an-Nahl [18]: 25).

Rasulullah SAW mengajarkan tiga cara dalam mencegah kejahatan, yaitu dengan kekuasaan (bi al-yadd), dengan lisan (bi al-lisan), dan dengan hati (bi al-qalb). (HR Muslim dari Abu Sa`id al-Khudzri). Cara pertama, bi al-yadd, menurut banyak pakar, tak selalu diartikan dengan pentungan atau kekerasan, tetapi dengan kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki seseorang untuk dipergunakan di bawah wilayah yurisdiksinya.

Kalaulah, bi al-yadd itu harus diartikan dengan kekuatan (bersenjata), maka tindakan demikian tidak pula serta-merta dan dilakukan secara serampangan, tetapi harus memperhatikan dan memenuhi syarat-syarat tertentu. Dalam Fiqh al-Daulah, Yusuf al-Qaradhawi, mematok empat syarat.

Pertama, kemungkaran yang dicegah merupakan barang haram secara mutlak (an yakuna muharraman mujma`an `alayh). Kedua, kemungkaran dilakukan secara terbuka, tanpa tedeng aling-aling (zhuhur al-munkar). Ketiga, pelaku memiliki kemampuan mengubah secara lahir dan batin (al-qudrah al-fi`liyah `ala al-taghyir). Keempat, tak menimbulkan bahaya lebih besar (`adam khasyyat munkar akbar).Memang, kejahatan harus dicegah dan dilawan, tapi bukan dengan kejahatan serupa, melainkan dengan kebaikan dan penuh keadaban. (QS Fushshilat [41]: 34). Wallahu a`lam.

(",)v




Sumber : koran.republika.co.id
Oleh : Dr. A. Ilyas Ismail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

“Hello friend, jika artikel di atas menarik menurut kamu, jangan lupa berikan sepatah dua patah kata komentarnya ya.”