Pages
▼
Sabtu, 28 Mei 2011
Multiradikalisme (Renungan)
Ada tiga basis radikalisme yang menggejala di negeri kita akhir-akhir ini, yaitu radikalisme agama, radikalisme pasar bebas, dan radikalisme kebebasan politik. Radikalisme berbasis agama ditandai menguatnya ideologi aliran keagamaan, seperti maraknya aksi kekerasan dan terorisme yang mengusung formalisme ideologi Islam.
Bangkitnya kembali isu Negara Islam Indonesia (NII) seperti banyak diberitakan akhir-akhir ini dan menyatunya kelompok radikalisme lokal dan radikalisme transnasional, seperti yang terindikasi dalam kasus bom buku belum lama ini, menambah kuat dugaan tersebut.
Dengan dipicu berbagai faktor kekecewaan maka ideologi "ratu adil" kembali diaktualkan untuk dijadikan solusi dari rasa kekecewaan sebagian umat terhadap lingkungan sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Sebagian di antara mereka menggagas relevansi dan urgensi mengaktualkan kembali isu negara Islam.
Sebagian lainnya tidak cukup dengan itu, tetapi harus mengaktifkan kembali isu kekhalifahan, yakni hanya satu pemerintahan untuk seluruh dunia Islam sebagaimana terjadi di masa lampau, yang kebetulan dikenang sebagai the golden age dunia Islam. Radikalisme pasar bebas sebetulnya tidak kalah bahayanya untuk masa depan bangsa.
Radikalisme berbasis agama, sepertinya terlihat lebih dahsyat karena korbannya langsung terlihat berdarah-darah dan bergelimpangan. Namun, radikalisme pasar bebas tidak kalah bahayanya bahkan bisa disebut pembunuh berdarah dingin karena korbannya bisa lebih banyak daripada radikalisme agama.
Tak terhitung jumlah korban meninggal karena kemiskinan, antara lain, disebabkan sistem pasar bebas yang memberi peluang lebih besar kepada sekelompok masyarakat untuk mengakses pangsa pasar. Sementara kelompok masyarakat mayoritas hanya bisa berebutan dan berdesakan di sektor informal yang semakin hari kian mengecil.
Akibatnya, mereka yang tidak memiliki kekuatan dan daya saing terlempar ke pinggiran menunggu saat-saat kehancurannya. Tak ubahnya di hutan belantara sana, yang kuat memangsa yang lemah.
Pasar-pasar tradisional yang sarat nilai budaya ekonomi lokal, hubungan emosional dan silaturahim kini tergusur oleh pasar-pasar modern yang liberal, individualistis, dan minus unsur silaturahim. Tergusurnya pasar tradisional menjadi simbol tergusurnya basis ekonomi lokal yang selama ini mengindonesiakan Indonesia.
Belum lagi bebasnya produk-produk luar membanjiri negeri ini, bahkan sampai ke pelosok desa. Radikalisme politik yang berlindung di bawah panji demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) pun tak kalah berbahayanya.
Pada era reformasi ini, bukan rahasia lagi atas nama demokrasi keadaban publik disingkirkan dan atas nama HAM, keunikan nilai warisan lokal dan universal keagamaan dipaksa menyesuaikan diri dengan nilai HAM tafsiran negara adidaya. Ketiga bentuk radikalisme itu betul-betul mengganggu kehidupan kita sebagai umat dan warga bangsa.
Satu saja bentuk radikalisme cukup merepotkan kita apalagi jika hadir bersamaan.Untuk keluar dari ketiga bentuk radikalisme di atas tidak ada cara lain kecuali kita harus kembali memperbarui komitmen kebangsaan kita dengan memperkuat empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
(",)v
Sumber : koran.republika.co.id
Oleh : Nasaruddin Umar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
“Hello friend, jika artikel di atas menarik menurut kamu, jangan lupa berikan sepatah dua patah kata komentarnya ya.”