Pages

Minggu, 22 Mei 2011

Kisah Abu Nawas Dan Pesan Bagi Para Hakim

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhLfX5uls2q0TX3m4On-UZzvfHlse_0f_WoNJMcqkA_riMz772Q_kz_vud8sfovf6V8Mik9QQRRGsPnmLj9o1ZNIoNn13NmjB4qh_wS9aHLwOHE6ebSlsWqrbKAE9dlPWRkza8405m8SkI/s400/palu+hakim.jpg

Siapakah Abu Nawas? Tokoh yang dinggap badut namun juga dianggap ulama besar ini adalah seorang sufi. Tokoh super lucu yang tiada bandingnya ini aslinya orang Persia yang dilahirkan pada tahun 750 M di Ahwaz, dan meninggal pada tahun 819 M di Baghdad.

Setelah dewasa, ia mengembara ke Bashra dan Kufa. Disana ia belajar bahasa Arab dan bergaul rapat sekali dengan orang-orang badui padang pasir. Karena pergaulannya itu, ia mahir bahasa Arab dan adat istiadat serta kegemaran orang Arab. Ia juga pandai bersyair, berpantun, dan menyanyi.

Ia sempat pulang ke negerinya, namun pergi lagi ke Baghdad bersama ayahnya, keduanya menghambakan diri kepada Sultan Harun Al Rasyid, Raja Baghdad kala itu. Bapaknya Abu Nawas adalah Penghulu Kerajaan Baghdad bernama Syeikh Maulana.

Pada suatu hari, bapaknya Abu Nawas yang sudah tua itu sakit parah dan akhirnya meninggal dunia. Abu Nawas dipanggil ke istana. Ia diperintah Sultan untuk mengubur
jenazah bapaknya itu, sebagaimana adat Syeikh Maulana.

Apa yang dilakukan Abu Nawas, hampir tiada bedanya dengan Kadi Maulana. Baik mengenai tata cara memandikan jenazah, hingga mengkafani, menyalati, dan mendo'akannya. Maka Sultan bermaksud mengangkat Abu Nawas menjadi Kadi atau penghulu
menggantikan kedudukan bapaknya.

Namun, demi mendengar rencana Sang Sultan, tiba-tiba saja Abu Nawas yang cerdas itu nampak berubah menjadi gila. Usai upacara pemakaman bapaknya, Abu Nawas mengambil sepotong batang pisang dan diperlakukannya seperti kuda, ia menunggang kuda dari batang pisang itu, sambil berlari-lari dari kuburan bapaknya menuju rumahnya. Orang yang melihat, menjadi terheran-heran dibuatnya.

Pada hari yang lain, ia mengajak anak-anak kecil dalam jumlah yang cukup banyak untuk pergi ke makam bapaknya. Dan di atas makam bapaknya itu, ia mengajak anak-anak bermain rebana dan bersuka cita. Kini semua orang semakin heran atas kelakuan Abu Nawas itu. Mereka menganggap Abu Nawas sudah menjadi gila, karena ditinggal mati oleh bapaknya.

Pada suatu hari, ada beberapa orang utusan dari Sultan Harun Al Rasyid datang
menemui Abu Nawas.

"Hai Abu Nawas, kau dipanggil Sultan untuk menghadap ke istana," kata wazir atau perdana menteri utusan Sultan.

"Buat apa Sultan memanggilku? Aku tidak ada keperluan dengannya," jawab Abu
Nawas dengan entengnya seperti tanpa beban.

"Hai Abu Nawas, kau tidak boleh berkata seperti itu kepada rajamu!"

"Hai Wazir, kau jangan banyak cakap! Cepat ambil kudaku ini dan mandikan di sungai supaya bersih dan segar!" perintah Abu Nawas sambil menyodorkan sebatang pohon pisang yang dijadikan kuda-kudaan.

Si wazir hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Abu Nawas. "Abu Nawas, kau mau apa tidak menghadap Sultan?" kata Wazir lagi mulai tidak sabar.

"Katakan kepada rajamu, aku sudah tahu, maka aku tidak mau," kata Abu Nawas.

"Apa maksudnya Abu Nawas?" tanya Wazir dengan rasa penasaran.

"Sudah pergi sana, bilang saja begitu kepada rajamu," sergah Abu Nawas sembari menyaruk debu dan dilemparnya ke arah si wazir dan teman-temannya.

Si Wazir segera menyingkir dari halaman rumah Abu Nawas. Mereka melaporkan keadaan Abu Nawas yang seperti tak waras itu kepada Sultan Harun Al Rasyid. Dengan geram Sultan berkata, "Kalian bodoh semua! Hanya menghadapkan Abu Nawas kemari saja tak becus! Ayo pergi kesana, ke rumah Abu Nawas, dan bawa dia kemari dengan suka rela ataupun paksa!"

Si Wazir segera mengajak beberapa prajurit istana. Dan dengan paksa Abu Nawas di hadirkan di hadapan raja. Namun, lagi-lagi di depan raja, Abu Nawas berlagak pilon bahkan tingkahnya ugal-ugalan dan tak selayaknya berada di hadapan seorang raja.

"Abu Nawas bersikaplah sopan!" tegur Baginda.

"Ya Baginda, tahukah Anda?"

"Apa Abu Nawas?"

"Baginda, terasi itu asalnya dari udang!"

"Kurang ajar kau menghinaku Abu Nawas!"

"Tidak Baginda! Siapa bilang udang berasal dari terasi?"

Baginda merasa dilecehkan, ia naik pitam dan segera memberi perintah kepada para pengawalnya. "Hajar dia! Pukuli dia sebanyak dua puluh lima kali"

Abu Nawas yang kurus kering itu, akhirnya lemas tak berdaya dipukuli tentara yang bertubuh kekar. Usai dipukuli, Abu Nawas disuruh keluar istana. Ketika sampai di pintu gerbang kota, ia dicegat oleh penjaga.

"Hai Abu Nawas! Tempo hari ketika kau hendak masuk ke kota ini, kita telah mengadakan perjanjian. Masak kau lupa pada janjimu itu? Jika engkau diberi hadiah oleh Baginda, maka engkau berkata : "Aku bagi dua, engkau satu bagian,
aku satu bagian." Nah, sekarang mana bagianku itu?"

"Hai penjaga pintu gerbang, apakah kau benar-benar menginginkan hadiah Baginda yang diberikan kepadaku tadi?"

"Iya, tentu saja, itu kan sudah merupakan perjanjian kita?"

"Baik, aku berikan semuanya, bukan hanya satu bagian!"

"Wah, ternyata kau baik hati Abu Nawas. Memang seharusnya begitu, kau kan sudah sering menerima hadiah dari Baginda."

Tanpa banyak cakap lagi, Abu Nawas mengambil sebatang kayu yang agak besar, lalu orang itu dipukulinya sebanyak dua puluh lima kali. Tentu saja orang itu menjerit-jerit kesakitan dan menganggap Abu Nawas telah menjadi gila.

Setelah penunggu gerbang kota itu klenger, Abu Nawas meninggalkannya begitu saja, ia terus melangkah pulang ke rumahnya. Sementara itu si penjaga pintu gerbang mengadukan nasibnya kepada Sultan Harun Al Rasyid.

"Ya Tuanku Syah Alam, ampun beribu ampun. Hamba datang kemari ingin mengadukan Abu Nawas yang teiah memukuli hamba sebanyak dua puluh lima kali tanpa suatu kesalahan apapun. Hamba mohon keadilan dari Tuanku Baginda."

Baginda segera memerintahkan pengawal untuk memanggil Abu Nawas. Setelah Abu Nawas berada di hadapan Baginda, ia langsung ditanya, "Hai Abu Nawas! Benarkah kau telah memukuli penunggu pintu gerbang kota ini sebanyak dua puluh lima kali pukulan?"

Berkata Abu Nawas, "Ampun Tuanku, hamba melakukannya karena sudah sepatutnya dia menerima pukulan itu."

"Apa maksudmu? Coba kau jelaskan sebab musababnya kau memukuli orang itu?" tanya Baginda.

"Tuanku," kata Abu Nawas, "Hamba dan penunggu pintu gerbang ini telah mengadakan perjanjian, bahwa jika hamba diberi hadiah oleh Baginda, maka hadiah tersebut akan dibagi dua. Satu bagian untuknya, satu bagian untuk hamba. Nah, pagi tadi hamba menerima hadiah dua puluh lima kali pukulan dari Baginda, maka hamba berikan pula hadiah dua puluh lima kali pukulan kepadanya."

"Hai penunggu pintu gerbang, benarkah kau telah mengadakan perjanjian seperti itu dengan Abu Nawas?" tanya Baginda.

"Benar Tuanku," jawab penunggu pintu gerbang.

"Tapi hamba tiada mengira, jika Baginda memberikannya hadiah pukulan."

"Hahahahaaaa.. Dasar tukang peras! Sekarang kena batunya kau!" sahut Baginda, "Abu Nawas tiada bersalah, bahkan sekarang aku tahu, bahwa penjaga pintu gerbang kota Baghdad adalah orang yang suka memeras orang! Kalau kau tidak merubah kelakuan burukmu itu, sungguh aku akan memecat dan menghukummu!"

"Ampun Tuanku," sahut penjaga pintu gerbang dengan gemetar.

Abu Nawas berkata, "Tuanku, hamba sudah lelah, sudah mau istirahat, tiba-tiba diwajibkan hadir di tempat ini, padahal hamba tiada bersalah. Hamba mohon ganti rugi. Sebab jatah waktu istirahat hamba sudah hilang, karena panggilan Tuanku ini. Padahal, besok hamba harus mencari nafkah untuk keluarga hamba."

Sejenak Baginda melongo, terkejut atas protes Abu Nawas tersebut. Namun tiba-tiba, ia tertawa terbahak-bahak, "Hahahahaaa.. Jangan khawatir, Abu Nawas."

Baginda kemudian memerintahkan bendahara kerajaan memberikan sekantong uang perak kepada Abu Nawas. Abu Nawas pun pulang dengan hati gembira. Tetapi sesampainya di rumah, Abu Nawas masih bersikap aneh dan bahkan semakin nyentrik seperti orang gila sungguhan.

Pada suatu hari, Raja Harun Al Rasyid mengadakan rapat dengan para menterinya. "Apa pendapat kalian mengenai Abu Nawas yang hendak kuangkat sebagai kadi?"

Wazir berkata, "Melihat keadaan Abu Nawas yang semakin parah otaknya, maka sebaiknya Tuanku mengangkat orang lain saja menjadi kadi."

Menteri-menteri yang lain juga mengutarakan pendapat yang sama. "Tuanku, Abu Nawas telah menjadi gila, karena itu dia tak layak menjadi kadi."

"Baiklah, kita tunggu dulu sampai dua puluh satu hari, karena bapaknya baru
saja meninggal. Jika tidak sembuh-sembuh juga, bolehlah kita mencari kadi yang lain
saja."

Setelah lewat satu bulan, Abu Nawas masih dianggap gila, maka Sultan Harun Al
Rasyid mengangkat orang lain menjadi kadi atau penghulu kerajaan Baghdad. Konon, dalam suatu pertemuan besar, ada seseorang bernama Polan yang sejak lama berambisi menjadi Kadi. Ia mempengaruhi orang-orang di sekitar Baginda untuk menyetujui, jika ia diangkat menjadi Kadi, maka tatkala ia mengajukan dirinya menjadi kadi kepada Baginda, maka dengan mudah Baginda menyetujuinya.

Begitu mendengar Polan diangkat menjadi kadi, maka Abu Nawas mengucapkan syukur kepada Tuhan, "Alhamdulillah, aku telah terlepas dari balak yang mengerikan. Tapi, sayang sekali, kenapa harus si Polan itu yang menjadi kadi, kenapa tidak yang
lain saja?"

Ternyata, ada sebuah cerita, mengapa Abu Nawas bersikap seperti orang gila? Begini Ceritanya :

Pada suatu hari, ketika ayahnya sakit parah dan hendak meninggal dunia, ia panggil Abu Nawas untuk menghadap. Abu Nawas pun datang mendapati bapaknya yang sudah lemah lunglai. Berkata bapaknya, "Hai anakku, aku sudah hampir mati. Sekarang ciumlah
telinga kanan dan telinga kiriku."

Abu Nawas segera menuruti permintaan terakhir bapaknya. Ia cium telinga
kanan bapaknya, ternyata berbau harum, sedangkan yang sebelah kiri berbau
sangat busuk.

"Bagamaina anakku? Sudah kau cium?"

"Sudah Bapak!"

"Ceritakanlah dengan sejujurnya, bau kedua telingaku inu."

"Sungguh mengherankan pak, telinga Bapak yang sebelah kanan berbau
harum sekali. Tapi yang sebelah kiri kok baunya busuk sekali, ya?"

"Hai anakku Abu Nawas, tahukah engkau apa sebabnya bisa terjadi begitu?"

"Wahai bapakku, cobalah ceritakan kepada anakmu ini."

Berkata Syeikh Maulana, "Pada suatu hari, datang dua orang mengadukan masalahnya kepadaku. Yang seorang aku dengarkan keluhannya, tetapi yang seorang lagi karena aku tak suka, maka tak kudengarkan pengaduannya. Inilah resiko menjadi Kadi (Penghulu). Jika kelak kau suka menjadi kadi, maka kau akan mengalami hal yang sama, namun jika kau tidak suka menjadi kadi, maka buatlah alasan yang masuk akal, agar kau tidak dipilih sebagai kadi oleh Sultan Harun Al Rasyid. Tapi, tak bisa tidak, Sultan Harun Al Rasyid pastilah akan tetap memilihmu sebagai Kadi."

Nah, itulah sebabnya Abu Nawas pura-pura menjadi gila. Hanya untuk menghindarkan diri agar tidak diangkat menjadi kadi. Seorang kadi atau penghulu pada masa itu, kedudukannya seperti hakim yang memutuskan suatu perkara. Walaupun Abu Nawas tidak menjadi kadi, namun dia sering diajak konsultasi oleh Sang Raja untuk memutus suatu perkara. Bahkan, ia kerap kali dipaksa datang ke istana, hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan Baginda Raja yang aneh-aneh dan tidak masuk akal. 

(",)v




Sumber : kumpulan-dongeng.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

“Hello friend, jika artikel di atas menarik menurut kamu, jangan lupa berikan sepatah dua patah kata komentarnya ya.”